Selasa, 03 Oktober 2017

Edisi Sepedaan IV : Menjajal Naik Sepeda ke PAI (Pantai Alam Indah)

Setelah sukses naik sepeda ke Obyek wisata Waduk Cacaban dan ke Pantai Larangan beberapa bulan yang lalu sebelum mendaki ke Sindoro. Bahkan agenda sepedaan tersebut juga termasuk bagian dari pemanasan sebelum mendaki. Tapi kali ini, tidak sedang pemanasan mau mendaki lagi melainkan ketagihan ingin bersepeda lagi dengan jarak yang lebih jauh. Dan rute sepedaan yang saya pilih kali ini ke Pantai Alam Indah. Jaraknya sekitar 16 km dari rumah saya.


Seperti yang saya bilang di edisi-edisi sepedaan sebelumnya, jarak sepedaan yang saya tempuh masih tergolong kelas bawah bagi para pesepeda yang sudah puluhan bahkan sampai ratusan kilometer ditempuh, tapi bagi saya sepedaan dengan jarak 16 km ini merupakan sebuah kebanggaan bagi saya mengingat berat badannya saya masih diatas rata-rata dan jarang ada orang gendut bersepeda sejauh ini, selain karena fisik yang gendut saya juga biasanya ke PAI (Singkatannya Pantai Alam Indah) itu pake motor tapi kali ini naik sepeda.

Saya sangat menikmati bersepeda pagi-pagi melintasi jalur terpadat kedua di Tegal setelah jalur pantura. Tapi banyak juga yang bersepeda dari berbagai kelompok/komunitas, ada juga beberapa sepasang kekasih yang lagi pacaran sambil mengayun sepeda, bahkan ada juga yang sambil selfie.

Namun kebanyakan mereka para pesepeda yang mengarah ke utara biasanya berkumpul di alun-alun tegal yang memang disetiap minggu pagi diadakan cfd (car free day), sedangkan yang mengarah ke selatan biasanya mereka berkumpul didepan Monumen GBN. Jadi karena saya mau ke pantai dan mengarah ke utara, bisa dipastikan setelah melewati alun-alun saya sendirian bersepeda ke arah utara karena tujuan saya masih jauh ke Pantai Alam Indah.

Sedikit pun saya tidak merasa capek, justru seneng banget bisa bersepeda pagi-pagi sejauh ini. Dan tepat 1 jam sampailah saya digerbang masuk Objek Wisata Pantai Alam Indah.

Suasana pada pagi ini di PAI sangat ramai, apalagi sekarang Pantai Alam Indah ini sudah di renovasi sekeren mungkin. Kayak tulisan ini, dulu gak ada.

Sumber Foto : Warta Bahari

Terus disepanjang bibir pantai dibuatkan tempat duduk panjang serta lantai selebar sekitar 3 meteran dengan dilengkapi keramik sehingga kalau menghadap ke selatan tidak seperti berada di pantai, tapi lebih mirip kayak di taman. Keren.



Kegiatan pengunjung di PAI juga beragam, selain berfoto-foto, disini juga banyak segerombolan anak muda yang bermain bola di tanah yang lapang dan berpasir tentunya, lalu ada juga sekumpulan orang dewasa yang sedang latihan ilmu beladiri di pinggir pantai, kalau saya hanya mengamati perubahan penampilan pantai ini saja.

Kemudian saya mampir ke salah satu warung untuk sarapan pagi di Pantai Alam Indah dengan memakan Kupat/Ketupat Glabed.

Ketupat Glabed ini makanan khas kota Tegal. biasanya kalau makan ketupat glabed ini dibarengi dengan sate kerang. Kenapa dinamakan Glabed karena kata Glabed sendiri sebenarnya berasal dari ucapan orang Tegal bila mengekspresikan kuah kuning yang kental.

Sumber Foto : www.ditegal.com
Selesai sarapan dan setelah dirasa kalau ketupatnya sudah turun ke perut, lalu saya bergegas meninggalkan PAI yang makin keren ini. Saya harap semoga makin keren dan para pengunjung  juga selalu menjaga kebersihan karena setelah saya amati ternyata banyak juga tong-tong sampah dipinggir bibir pantai. Tujuannya biar para pengunjung tidak buang sampah sembarangan lagi yang selalu menjadikan alasan kalau tong sampahnya jauh, dan kali ini gak ada alasan lagi buat buang sampah pada tempatnya.
 
Sekian dari Pantai Alam Indah.

eh.. Tunggu dulu.
Di Pantai Alam Indah juga ada Museum Baharinya yang sering dijadikan objek foto dan selalu ramai dikunjungi beberapa keluarga yang ingin mengenalkan jenis-jenis kendaraan perang Negara kita pada masa dulu.



Semoga dilain waktu saya bisa sepedaan yang lebih jauh lagi dari ini, bila perlu piknik sambil sepedaan kayaknya seru. Dan sepulang dari PAI  saya sengaja lewat jalan lain untuk pulang yaitu lewat jalur pantura. Setelah jalan beberapa meter rasanya ngeri-ngeri sedap sepedaan dijalur pantura karena memang tidak diperuntukan untuk pesepeda. Akhirnya sebelum saya kena hempasan manja dari para raja jalanan saya kembali kejalan semula sewaktu berangkat tadi dan Alkhamdulillah selamat sampai rumah.



Baca Juga :

Senin, 28 Agustus 2017

Mencari Titik Tertinggi di Obyek Wisata Cacaban

Seminggu setelah lebaran kemarin, saya bersama kawan lama (teman SMP) baru sempat kumpul bareng setelah sekian hari tertunda-tunda karena banyaknya acara keluarga yang harus kita jalani. Barulah di malam minggu pertama setelah lebaran kita kumpul di rumah Jahid.

Hal pertama yang kita bahas tentu mengenai fisik kita, ada yang masih kurus-kurus aja, ada yang makin gempal seperti saya, ada yang sudah pake kacamata dan lain-lain. Lalu hal kedua yang kita bahas adalah kabar teman-teman yang lain yang katanya ada yang sudah punya anak, baru menikah, mau menikah, baru pacaran dan ada juga yang masih jomblo sejak SMP sampe sekarang termasuk Jahid si tuan rumah. Terakhir membahas kenangan kita seperti saya habis naik gunung, lalu Sofi baru pulang habis kerja 3 tahun di Korea, dan terakhir Budi yang cerita habis mencari burung di beberapa bukit yang ada di sekitar Waduk Cacaban. Saat itu Budi keliling naik-turun bukit yang ada di Cacaban. Dan ada satu titik tertinggi dimana kalau berdiri disitu kita dapat melihat PG. Pangkah (PG : Pabrik Gula) yang jaraknya lumayan jauh dari Cacaban serta pemandangan sawah-sawah yang hijau indah memukau mata. Karena di titik tersebut tidak ada pohon sama sekali sehingga pemandangan didepan sangat menakjubkan.

Karena rasa penasaran seperti yang diceritakan Budi itulah yang membawa kita untuk ke Cacaban dan mencari titik tertinggi yang Budi sebutkan tadi.

Kemudian saya mengusulkan untuk ke Cacaban naik sepeda biar sekalian olahraga. Tapi hanya 2 anak saja yang setuju naik sepeda ke Cacaban selain saya, sisanya males capek mungkin, makanya naik motor. Dan ditentukanlah hari dan semuanya sepakat besok pagi setelah shalat subuh kita jalan ke Cacaban.

Lalu kita semua pulang untuk mempersiapkan besok.


~~sk~~

Tidak sedikit yang membatalkan untuk ikut ke Cacaban, dengan alasan kerjaan dan masih banyaknya acara keluarga menjadi penghalang kita untuk jalan-jalan sekaligus reuni kecil-kecilan alumni SMP Muhammadiyah Kec. Pangkah, Tegal, angkatan 2007.

Setelah semuanya berkumpul (kecuali yang tidak ikut) ditempat yang sudah dijanjikan, kita langsung jalan dengan kecepatan santai 20km/jam, karena yang naik motor juga menyesuaikan kita-kita yang naik sepeda.

Hasilnya setengah jam lebih dikit kita baru sampai di gerbang wisata Waduk Cacaban.

Pasca libur lebaran, tiket masuk ke OW Waduk Cacaban naik seribu (jadi Rp. 3.500).  

Selesai motor di parkirkan, kita tidak langsung naik-naik bukit terlebih dulu, tapi jalan-jalan disekitaran waduknya yang keren banget kalau pagi-pagi.


Kita liat satu-persatu perahu yang dibuat untuk pengunjung mulai pergi dengan membawa belasan pengunjung didalamnya. Kalau saya perhatikan mimik muka para pengunjung sangat beragam, ada yang seneng sambil selfie, ada juga pengunjung yang ekspresi mukanya kayak orang ketakutan gitu. Saya rasa aman sih perahunya, kayu-kayunya juga masih kokoh pas saya amati. Cuma keamanannya yang masih kurang, karena tiap perahu hanya ada 4 ban pelampung dan 2 pelampung rompi saja. Gak sebanding dengan belasan pengunjung yang naik perahu tersebut. Mungkin keterbatasan tempat sehingga mengurangi jumlah ban pelampungnya.


Bosan melihat pemandangan waduknya, kemudian kita jalan-jalan dipunggungan waduknya. Suasananya juga cukup ramai dan banyak spot-spot menarik buat dijadikan objek foto.

Gak terasa kita jalan sudah sampai di sungai yang banyak batu-batu cukup besar. Setelah itu kita mulai naik bukit satu-persatu. Tapi cuma bertiga doang, yang lainnya sudah sangat kelelahan. 

"Dibukit yang mana ya yang pemandangannya keren" tanya Budi. Anak yang paling pengin banget nostalgia ke tempat yang dulu dia bilang keren.

"Mana saya tau bud" jawab saya. "Kan situ yang pernah kesini"

"Kayaknya sebelah sana" kata Ale sambil nunjuk ke bukit yang lokasinya berada di loket masuk kedua. Memang tempatnya lebih tinggi.

Kemudian kita kesana.

Sesampainya disana, ternyata sama ramainya kayak di Waduknya banyak pengunjung. Ada rumah pohonnya juga yang saya pikir mungkin ini titik tertinggi di Cacaban. Tapi kata Budi masih belum, karena pemandangannya biasa. Padahal menurut saya keren banget loh. Kayak di foto ini.


Kemudian kita turun dari rumah pohon dan naik bukit lagi. Kali ini bukan di tempat-tempat yang banyak pengunjung, bahkan gak ada jalannya juga. Semuanya tertutup sama rumput-rumput yang sepertinya hampir tidak pernah ada orang yang lewat situ. Tapi tetep aja si Budi maksa naik sambil bilang di atas aja ada pohon pisang, pasti ada orang yang pernah naik ke bukit ini. Sebuah filosofi yang memaksa. Sedangkan saya dan Ale cuma ngikutin aja di belakang.


Sesampainya diatas kata Budi masih bukan bukit yang dia inginkan.

Saya cuma bengong sambil bertanya sendiri dalam hati "Terus dimana letaknya?"

"Ayo turun lagi" kata Budi.

Kemudian kita jalan ke tempat yang sangat tersembunyi mungkin di daerah situ karena bener-bener sunyi, gak denger suara pengunjung yang lainnya. Kalau tadi sih kita masih denger hiruk-pikuk suara anak-anak.

"Kayaknya ini bukitnya deh" kata Budi tapi masih kayaknya...

"Kayaknya bukan deh" jawab saya

"Masa sih?"

"Gak ada jalannya bud"

"Jalan mah bisa dibuat sendiri" lanjut Budi.

Bukit yang akan kita naiki ini lebih rimbun pohonnya, rumputnya juga tinggi-tinggi banget, dan yang paling gila kita asal jalan aja kayak seolah-olah jalanan aspal didepan, padahal kaki saya beberapa kali tertusuk duri-duri kecil.


"Iya yah bukan disini"

"Kan saya bilang juga apa" jawab saya tapi dalam hati.

Kemudian kita turun lagi dengan berbagai macam duri yang menempel di celana saya.

"Oh iya bukitnya di sebrang sana kayaknya deh" tunjuk Budi ke bukit yang ada di sebrang sungai yang pas awal tadi kita berenam duduk-duduk. Tapi masih kayaknya...

"Eh bud. Maaf nih saya udah ada janji anter adik saya beli hape" alasan saya biar gak balik lagi ke bukit yang didekat sungai tersebut karena jaraknya lumayan jauh sekitar 2 atau 3 km dengan kondisi jalan naik-turun. Dan saya juga yakin nanti pas udah diatas juga pasti Budi bakalan bilang "kayaknya bukan disini deh". Saya dan Ale di ajak muter-muter sebenernya bukan karena keegoisannya Budi yang pengin liat pemandangan paling keren di atas bukit, tapi saya juga pengin liat. Cuman yang kita cari adalah sebuah bukit dengan pemandangan keren tanpa ada pohon satupun dan itu yang Budi lihat 10tahun lalu. Saya tau pas Budi cerita dulu kesininya 10tahun yang lalu bareng bapaknya dia untuk berburu burung. Sudah jelaslah pasti tempat tersebut sudah berubah bentukannya.

Padahal ya tadi juga ada pemandangan keren bahkan PG. Pangkah juga keliatan. Tapi Budi penginnya pemandangan yang kayak dulu, itu kan susah. Tapi sisi baiknya kita jadi banyak waktu buat ngobrol bareng, jalan bareng, dan sarapan bareng. Sedikit bernostalgia di Waduk Cacaban tapi mampu membuka pintu selebar-lebarnya pintu kenangan kita di masa sekolah. Semoga kalian makin sukses.


Demikianlah pencarian titik tertinggi di Waduk Cacaban yang akhirnya tidak sesuai keinginan Budi, bisa juga keinginan saya, karena saya juga berharap ada pemandangan yang lebih waow lagi. Tapi ini masih jadi misteri.

Minggu, 06 Agustus 2017

Tips Mendaki Gunung Bagi Orang Gendut VERSI Blog Sering-Keluyuran.

 
Sebagai orang gendut yang berat badannya lebih dari 85kg, kadang suka menyerah sebelum bertindak seperti ketika saya liat temen ngepost foto dengan latar belakang pemandangan alam yang keren banget, begitu ditanya mengenai foto tersebut diambil dimana, saya langsung sedih kalau jawabannya adalah di Danau Ranukumbolo yang letaknya di Gunung Semeru, atau di Segara Anak di Gunung Rinjani misalkan. Karena saya atau kita sebagai orang gendut akan mikir lima kali (kalau mikir cuma dua kali masih kurang) untuk menjajal naik gunung atau tidak. Karena mendaki gunung adalah sebuah kegiatan alam yang bukan hanya sekedar jalan-jalan saja, tapi kita juga harus punya ketahanan fisik dan tenaga yang kuat, karena mendaki gunung termasuk olahraga cukup ekstrim. Nah... saya main futsal baru 5 menit aja sudah engap. Tapi dengan tekad saya yang ingin sekali mendaki gunung dan memandang keindahan dari atas gunung, membuat saya berjuang gimana caranya supaya orang gendut juga bisa!. Maka inilah 15 tips mendaki gunung bagi orang gendut. Semoga bermanfaat.
 
1. Olahraga dong!
 
Pict By : CheritaHati - WordPress.com
Kalau orang-orang bilang sebelum mendaki itu harus olahraga maksimal seminggu sebelum mendaki. Itu benar, tapi untuk orang kurus, sedangkan bagi yang gendut minimal satu bulan full kita olahraga, tujuannya selain agar fisik makin kuat, berat badan juga makin turun. Jadi pas nanti mendaki badan kita tuh gak gendut-gendut amat. Jenis olahraganya jangan catur, itumah sama aja, tapi sering-sering lah godain istri orang, nanti pastinya si suami gak trima dan bakal ngejar-ngejar kita. Disitulah letak suksesnya membakar kalori yang banyak, karena kalau cuma lari-lari biasa paling keringatnya dikit yang keluar, tapi kalau lari sambil dikejar orang pasti keringatnya sebiji jagung walopun larinya cuma sebentar.
 
2. Jangan Baper.
 
Pict By : Vemale.com
Orang gendut itu sedikit lebih baper. Liat semut mati aja merasa kasihan yang teramat sangat mendalam dan jadi perasaan, apalagi kalau punya pacar yang ditinggal buat pergi misalkan, pasti kepikirannya sama si pacar terus, mikirin apakah dia sudah makan, apakah sudah minum setelah makan. Jadi sebisa mungkin seminggu sebelum mendaki putusin aja dulu pacar kita sambil bilang supaya pikiran tenang saat mendaki. Kalau emang sayang, pasti pacarnya itu ngertiin. Malahan seneng, karena dia bisa jalan dengan cowok yang badannya lebih cool. Tapi yang penting sukses mendakinya.
 
3. Ajak teman.
 
 
Untuk mendaki gunung, kita pasti akan membutuhkan orang lain, entah itu untuk untuk penyemangat, bawain tas kalo kita memang sudah sangat lelah, bisa juga untuk temen ngobrol. Jangan mentang-mentang habis nonton film 5cm terus bilang sudah pengalaman mendaki gunung, padahal cuma nonton film.
 
9. Sewa Guide/Porter.
 
Pict By : Jalan Setapak Adventure - WordPress.com
Waktu mendaki Sindoro kemarin, dengan senang hati saya menerima pertolongan dari Mas Galih untuk membawakan cerrier saya. Yaiyalah... yang gak seneng yang bawain cerrier. Tapi nyatanya Mas Galih gak ada raut wajah nyesel, karena emang ini udah bagian dari pekerjaannya. Jadi sah-sah saja kalau kita pengin mendaki dengan sedikit beban saja yang kita bawa. Konsekuensinya ya kita keluar duit banyak buat bayar tenaganya orang lain.
 
10. "Jangan Tinggalin Aku ya..."
 
 
Kalimat tersebut juga termasuk tips mendaki gunung buat orang gendut. Karena orang gendut itu langkahnya pelan kayak siput mungkin, gak selincah kancil. Jadi sebelum mendaki baik bareng temen atau sewa Guide usahakan kita mengingatkan mereka untuk tidak ninggalin kita.
 
14. Bawa makanan di kantong.
 
 
Makanan adalah teman hidupnya orang gendut. Karena orang gendut kalau gak sambil ngemil bisa kehilangan gairahnya. Seperti yang saya alami kemarin di Sindoro, gegara gak makan pas mau turun, kondisi badan makin gak karu-karuan. Makanya nanti kalau mendaki lagi saya bakal ngantongin coklat di saku kiri, roti di saku kanan, lalu bawa tas kecil yan didalamnya sudah ada gorengan.
 
15. Dan tips terakhir yang paling penting yang akan saya kasih adalah NIAT.
 
 
Percuma juga kita ngikutin tips ini dari awal tapi ternyata kita gak niat buat mendaki. Mending dirumah main Playstation sambil makan mie ayam+bakso, minumnya es campur. Jadi sebelum mendaki kita mantapkan dulu niat kita.
 
~~sk~~
 
Begitulah sekelumit tips mendaki gunung untuk orang gendut yang saya tau. Semoga bermanfaat dan pulang juga dengan selamat membawa foto terbaiknya yang kita ambil di atas gunung.
 
Mulai sekarang stop diskriminasi orang gendut, karena orang gendut juga manusia, dan setiap manusia pasti ingin melihat pemandangan yang indah. Maka bantulah kami wahai para pendaki yang berpengalaman apabila sedang kesusahan dalam mendaki gunung. Sedangkan kalian para orang gendut yang berhasil naik gunung lalu pamerin fotonya di sosmed, jangan takut kalau ada orang yang gak percaya kita naik gunung. Bilang aja "Naik pelaminan aja bisa, apalagi naik gunung".


Baca juga :
Tengah Malam Mendaki G. Sindoro
Mendaki G. Prau Bareng Keluarga Sering Keluyuran
Di Paksa Naik Bukit Batu Agung

Selasa, 01 Agustus 2017

GAGAL PUNCAK. Lanjutannya : Tengah Malam Mendaki Gunung SINDORO.

Karena cuaca langit saat itu berawan, kita jadi kurang beruntung untuk mendapatkan pemandangan sunrise yang keren di sekitaran pos 3 Gunung Sindoro. Tapi pemandangan gagahnya Gunung Sumbing didepan kita cukup membayar perjuangan kita mendaki gunung di tengah malam.


Selesai membangun tenda, sekarang waktunya membangun gairah baru, setelah sebelumnya merasa lelah, letih, dan lesu gak ada gairah sama sekali, makanya kita wajib bangun gairah baru. Bukan foto-foto, bukan pacaran sama Mala, BUKAN! tapi MAKAN!. Ya... makan. Karena bagi orang gendut : Makan itu bisa menciptakan gairah baru, makanya saya langsung cari-cari makanan. Diawali dengan mencari makanan di tas sendiri tapi gak ada, kemudian saya buka tas kecil yang dibawa Mala, juga gak ada makanan. Saya pikir mungkin yang bawa makanan Turis atau yang lainnya, tapi ternyata gak ada yang bawa makanan. Kampret!!

"Tadi di Basecamp emang gak belanja makanan?" Tanya saya.

"Gak ada, cuma beli air mineral sama kopi dan susu" Jawab Dwi.

"Perasaan kan tadi di basecamp beli mie" Lanjut saya.

"Kan udah dimasak sebelum mendaki. Bahkan kamu yang makan paling banyak"Lanjut Mala.

Kemudian saya diem, seolah-olah habis melakukan kesalahan yang besar.

Alamakkk! Jadi kita mendaki di Sindoro ini gak bawa makanan sedikit pun. Kalau bagi Mala, Dwi, dan Beti makan itu gak penting, yang penting foto sepuas-puasnya itu bisa melupakan rasa lapar. Sedangkan bagi Turis yang penting air. Nah kalau saya kan gak bisa hidup kalau gak makan. Mana mau ke puncak segala. Masa gak makan dulu.

Ini bener-bener pendakian paling gak waras (Tolong jangan diikuti), hanya karena sudah mepet banget waktunya untuk mendaki gunung nyampe makanan aja gak dibawa. Padahal makan mie digunung itu lebih lezat dari pada makan nasi padang di warteg. Yang patut disalahkan adalah macetnya jalanan arah Purwokerto kemarin, membuat semua rencana jadi berantakan.

"Jadi puncak gak mas?" Tanya mas Galih.

"Gak usah deh mas, gak ada asupan gizi, sisa tenaga ini di pake buat turun aja" jawab saya dan disetujui sama Turis dan anak-anak cewek lainnya.

"Iya sih mas, kita kesini karena waktu mendakinya yang terlalu malam bahkan sudah dini hari" lanjut mas galih.

Kemudian Mas Osa menambahkan katanya, kalau mau bermalam di Sindoro idealnya nyampe pos 3 itu maksimal jam 10 malem, tujuannya biar sebelum jam 12 sudah pada tidur buat mempersiapkan summit. Nah kita, jam 1:30 baru mau naik. Hehe mungkin lain kali kita kesini lagi dan naik ke puncak Sindoro.
Selesai berkemas-kemas untuk persiapan turun, kemudian kita tutup dengan sesi pemotretan terakhir. Setelah itu. Pulang.  

Kalau di liat-liat, ketiga cewek ini kuat juga. Padahal mereka gak ada yang tidur semaleman. Hanya dengan foto-foto saja mereka jadi mendadak kuat.
Mas Osa, Dwi, Mala, Beti, Mas Galih


~~sk~~

Bebatuan demi bebatuan kita lewatin, pohon demi pohon yang tumbang juga kita lewatin sampai di pos 2 kita lewati dengan kondisi kaki saya mulai terasa sakit antara kram dan sedikit terkilir pas loncat tadi, dengkul juga mulai terasa sakit karena lebih banyak bekerja untuk mengerem. Entah disisa perjalanan ini saya sanggup untuk jalan kaki atau tidak.

Saya kembali mikir untung tadi gak jadi ke puncak. Misal tadi jadi ke puncak, gimana nanti pas pulang.  

Sedangkan kondisi teman-teman yang lain seperti Turis, Mas Osa, Mas Galih sih masih sehat-sehat aja. Suruh naik lagi mungkin mereka masih sanggup, terus Mala juga gak memperlihatkan kalau dia capek, justru Mala yang terusan nyemangatin saya tadi. Jadi malu. Dan yang aneh itu Beti dan Dwi. Tadi pas awal-awal turun Beti sang petualang sejati mulai menunjukan kelasnya sebagai pendaki dengan jam terbang tinggi karena dia jalan paling depan dan tidak mau istirahat, sedangkan Dwi di awal-awal pas turun sudah beberapa kali minta berhenti dan merengek kesakitan.

Tapi apa yang terjadi selepas istirahat 10 menit di tengah perjalanan menuju pos 2 tadi, Dwi jadi makin kuat sedangkan Beti makin loyo kayak gak ada gairahnya sama sekali. Setelah ditanya apa alasannya kata Dwi kalau habis foto-foto semangatnya jadi nambah, kalau Beti katanya habis tenaganya. Haha mereka memang kocak-kocak sifatnya, makanya saya seneng banget kalau keluyuran bareng mereka. Cuma sayangnya kita kurang 3 anak yang mungkin saja bisa nambah rasa bahagianya.
Formasi lengkap saat ke Gunung Prau
~~sk~~

Lanjut turun sampai di Pos 1 kaki mulai gak karuan, tapi saya tetap paksakan untuk terus jalan walaupun pelan-pelan. Mas Osa sih menyuruh kita untuk naik ojeg saja dari pos 1 sampai Basecamp, tapi kita gak mau demi melihat pemandangan lebih lama. Alasan yang tidak masuk akal sih karena kondisi kaki saja sudah terasa pengin banget berhenti melangkah.

Selepas keluar dari hutan, kini kita memasuki area kebun kol yang cukup luas. Dan posisi saya sudah jauh meninggalkan yang lainnya. Tapi ini bukan berarti saya paling cepat, melainkan karena mereka sering berhenti untuk foto-foto, sedangkan saya pengin cepet-cepet sampai di basecamp dengan langkah kaki yang lemah.


Lalu saya denger dari arah belakang ada mobil pengangkut kol yang tadi saya lewati dan sepertinya sekarang sedang jalan mengarah saya, kemudian saya melipir dipinggiran jalan untuk kasih ruang mobil bak terbuka tersebut. Namun setelah melintas disamping saya ada suara cewek dan cowok berbarengan menyapa saya, dan sepertinya saya kenal dengan suara tersebut.

"Duluan ya mas"

Pas saya liat.

Kampret! Ternyata mereka yang naik mobil.

"Ayo mas naik" kata Mas Osa sambil menjulurkan tangan.

Tapi pas saya mau naik, ini kaki gak bisa ngangkat tinggi.

"Aduh gak bisa mas"

"Langsung loncat aja ris" usul Turis.

Akhirnya saya loncat dengan tangan sebagai tumpuhannya, tapi kaki masih belum kuat naik sampai akhirnya Turis menarik kaki saya. Tapi pas berhasil naik, ini kaki dua-dua kram.

"Mas-mas tolong mas" teriak saya karena emang sakit banget.

Sepanjang naik mobil saya selalu merintih sambil mikir apa yang terjadi dengan tubuh ini, karena dulu ke Gunung Prau gak separah ini kakinya. Ya memang prau lebih pendek dan lebih ringan, tapi kan sebelum mendaki saya olahraga sepedaan dulu. Pasti gara-gara gak makan tadi.

Gak sampai 5 menit akhirnya kita semua sampai di basecamp dengan selamat.
Sebuah pengalaman yang luar biasa dan pembelajaran yang teramat berharga bagi kita bila ingin mendaki lagi harus disiapkan sebuah rencana yang benar-benar matang, maksudnya harus ada plan B atau C atau D bila rencana awalnya gagal total.

Dan lucunya, derita saya gak sampai disitu saya. Mau shalat gak bisa sujud, akhirnya shalatnya duduk, selesai shalat gak bisa berdiri karena ini dengkul bener-bener lemes banget. Terus naik tangga yang ada di pintu bus juga gak bisa, kemudian yang paling nelangsa pas sampai di terminal purwokerto perut saya mules dan disitu gak ada wc duduk, bisa dibayangkan betapa susahnya saya pas nongkrong. Saya nyampe tobat gak mau naik gunung lagi. Tapi pas semua rasa sakitnya hilang malah pengin naik lagi. Haha dasar yah gunung emang suka bikin kangen. Semoga saya dan Keluarga Sering Keluyuran bisa kembali mendaki bareng lagi.


Jumat, 16 Juni 2017

Tengah Malam Mendaki Gunung SINDORO


Selesai makan, selesai Packing dan Selesai isi data-data di Basecamp, kemudian kita ngerumpi sebentar apakah akan naik ojeg sampai ke pos 1 atau jalan kaki sampai pos 1.
Just info di Gunung Sindoro : Untuk menuju ke pos 1 masih bisa dilalui dengan sepeda motor karena jalannya masih menggunakan batako dengan pemandangan kanan-kiri ladang kol milik warga sampai di pos 1 barulah masuk ke dalam hutan. Cuma jaraknya lumayan jauh, bahkan lebih jauh jaraknya dari pos 1 ke pos 2 atau dari pos 2 ke pos 3.

Setelah mempertimbangkan dengan jarak dan waktu yang sudah menjelang pagi, kita putuskan untuk menggunakan ojeg sampai ke pos 1 agar mempersingkat waktu supaya sampai di pos 3 sebelum matahari terbit. Karena kalau pengin melihat sunrise di Gunung Sindoro paling gak minimal sampai di pos 3.  

Ini bener-bener gila dan nekat sih sebenernya, karena di jam 1:30 itu kebanyakan para pendaki sedang istirahat atau kalau di gunung yang lebih tinggi mungkin sedang mempersiapkan untuk summit, nah kita jam segini malah baru naik dari basecamp. Memang serem sih, cuma kita sudah nambah 2 anggota yang sudah hafal jalurnya pula yang bikin kita makin berani. Semoga lancar sampai ke atas.

Satu-persatu dari kami mulai jalan dengan tukang ojegnya masing-masing meninggalkan basecamp, termasuk saya yang terakhir.  

Pas mau naik ojeg, saya pikir ini motor gak bakalan sanggup naik karena yang boncengin berbadan gendut, ditambah lagi rasanya roda bannya juga agak kempes. Eh yang terjadi malah motor yang saya tunggangi ini satu-persatu nyalip motor yang didepan dan akhirnya saya yang duluan sampai di pos 1. 

"Gimana rasanya mas naik ojeg di gunung?" Tanya tukang ojegnya.

Ini bener-bener pengalaman baru buat saya, seru, dan serem juga sih barangkali jatuh. Kalau di film-film itu kayak film Lion King.

"Jauh amat bedanya, itu kan film kartun binatang mas" protes si tukang ojeg.

"Si mas tukang ojeg ini tau film juga ternyata. Hihi" .... "Pokoknya seru mas"

Gak lama kemudian kita kumpul semua bertujuh di pos 1. Dengan sedikit bacaan doa, kita awali sebelum treking ke atas.

Basecamp - pos 1 (gak nyampe 10 menit)

Selesai doa, kita mulai melangkahkan kaki kita dipekatnya malam dalam hutan namun bertabur bintang yang menandakan cuaca sangat cerah.

Perlahan-lahan kita jalan sambil ngobrol ngalor-ngidul sama Mas Galih dan Mas Osa yang anaknya sangat mudah bergaul. Mereka bercerita kalau Gunung Sindoro itu gak seekstrim yang orang-orang pikir. Kebanyakan orang bilang Sumbing dan Sindoro memiliki jalur yang sulit karena banyak batu-batuan, tapi Sindoro itu lebih mudah. Katanya... ya wajar karena mereka sering wara-wiri naik gunung ini, nah saya pengalaman mendaki aja baru di Gunung Prau. Itu aja saya mendaki dengan penuh perjuangan.

1 jam sudah kita meninggalkan pos 1.

Entah karena malam hari atau karena efek sepedaan sebelum mendaki kemarin, bikin kaki saya sanggup nanjak. Bahkan sampai di pos 2 saya masih cukup sanggup. Kecuali anak-anak cewek yang sudah beberapa kali minta berhenti. Ya.. maklum lah, apalagi Dwi yang habis dari Bandung, kalau Beti sih namanya doang si petualang sejati tapi gampang capek, kalau Mala ini cewek strong, bahkan lebih kuat dari saya, sedangkan Turis tidak diragukan lagi karena dia cukup pengalaman mendaki gunung.

Pos 1 - Pos 2 (1,5 jam)

~~sk~~



10 menit istirahat dirasa cukup kata Mas Galih, karena tujuan kita liat sunrise di pos 3 yang berjarak lebih jauh ketimbang pos 1 ke pos 2.

Sekarang giliran Mas Osa yang memimpin di depan, kalau tadi dari pos 1 Mas Galih yang didepan.

Untuk suhu udara disini saat ini cukup hangat, saya juga sampe heran digunung kok malah hangat. Kata Mas Osa ini karena habis diguyur hujan cukup deras tadi pas saya dan lainnya masih didalam bus, makanya si tanah jadi hangat plus gak ada kabut alias cerah benderang.

5 menit kemudian selepas pos 2, kaki saya mulai terasa kram sedikit, tapi masih saya paksakan untuk tetap jalan. Karena sedikit gengsi sama anak-anak cewek, masa saya yang cowok minta istirahat. Tapi nyatanya kaki saya mulai lambat buat melangkah.

"Bet kalau capek lagi mending istirahat aja dulu" Lagi nyoba bujuk Beti buat berhenti biar semuanya berhenti, padahal sih saya yang ingin istirahat karena ini kaki mulai terasa berat melangkah, cuma kalau saya yang minta berhenti malu lah sama anak-anak cewek ini.

"Masih kuat" jawab Beti.

Pijakan kaki saya mulai semrawut gak jelas karena berat melangkah dan medannya juga bebatuan serta banyak pohon tumbang yang menghalang.

"Gak haus Wi? Nanti dehidrasi loh..." saya mulai merayu Dwi supaya ada alasan buat berhenti.

"Nanti aja minumnya, keburu telat"

Dalam hati "Ini cewek-cewek kenapa mendadak jadi kuat sih, apalagi Mala sudah jauh didepan"

Karena gak ada yang mau berhenti, akhirnya saya coba berhenti sambil mangkring di batu besar karena cukup melelahkan.

"Capek mas?" Sapa Mas Galih dari belakang.

"Oh enggak mas ini lagi memandang Gunung Sumbing keliatan banget" padahal capeknya gak ketulungan.

Denger saya bilang kalau Sumbing keliatan banget dibelakang kita, anak-anak mendadak berhenti dan sama-sama memandang megahnya gunung sumbing di malam hari yang cerah ini.


"Alkhamdulillah akhirnya pada berhenti juga" kata saya dalam hati.

"Ayo jalan lagi. Mau liat sunrise gak nih... setengah jam lagi kita sampai kok di pos 3" teriak Mas Osa dari atas.

Baru aja meneguk air dikit udah jalan lagi. Huh... saya mikir coba aja ada tukang ojeg sampai ke puncak, bayar mahal juga gak papa.

Saya liat Turis sama Mala di depan/di atas, keliatannya enak banget jalan kakinya, kayak gak ada beban. Kalau saya malah kaki terasa makin berat dan carrier juga terasa makin berat. Kalau dihitung-hitung berat beban yang dibawa kita-kita ini mungkin paling berat punya saya, karena saya juga harus bawa puluhan kilo lemak saya keatas Gunung.

"Masih lama mas pos 3?" Teriak Beti yang mulai meninggalkan saya dibelakang.

"Setengah jam lagi" Balas Mas Osa yang jauh di atas sana.

Entah setengah jamnya Mas Osa itu berapa menit karena dari tadi bilangnya setengah jam mulu.

Saat ini posisinya sudah tidak berdekatan lagi. Mas Osa, Turis, dan Mala sudah jauh diatas sana, dibawahnya ada Dwi dan Beti yang sudah tidak terlihat lagi oleh saya, kemudian dibawahnya lagi ada Mas Galih yang mulai meninggalkan saya. Sumpah ini kaki sudah tidak bisa diajak kompromi, kaki saya dua-duanya kram. Gilakk sakit banget. Terpaksa saya berhenti. Untung Mas Galih melihat saya berhenti dan dia ikutan berhenti.

"Kenapa mas?" Tanya Mas Galih.

"Kram"

"Lurusin mas kakinya" lanjut Mas Galih sambil turun lagi buat nemenin saya.




Disaat sedang istirahat meluruskan kaki, saya baru sadar kalau saya sudah keluar dari hutan. Dan itu artinya pos 3 sudah hampir sampai. Terlihat juga banyak tenda berdiri diatas saya.

adventure everyday
"Ayo jalan lagi mas" ajak saya ke Mas Galih. Sementara Turis dan yang lainnya entah dimana keberadaannya, suaranya juga mulai tersaingi dengan suara-suara para pendaki lainnya yang ada diatas.

5 menit kemudian kaki saya kembali kram. Sialan. Tapi kali ini saya banyak temen pendaki lain dari berbagai kota.

"Kalau kram jangan dipaksakan mas" kata salah seorang pendaki asal Jakarta.

"Ini sudah sampai pos 3 belum?" Tanya Mas galih ke pendaki dari Jakarta itu.

"Kayanya udah mas, karena papan petunjuknya gak keliatan"

Lagi duduk selonjoran, tiba-tiba ada yang ngasih kopi. Anjrit baik banget. Emang bener, di gunung siapa saja bisa jadi sodara.

"Terimakasih mas"

Selesai minum kopi dan kaki juga sudah mulai kuat berjalan, kita berdua kembali jalan, tapi Mas Galih melarang saya buat membawa Carrier. Katanya biar dia aja yang bawa.

"Jangan mas! Saya gak enak" tolak saya.

"Gak papa mas biar gak kram lagi"

Ya sudah, karena dia memaksa jadi saya kasih. Padahal badannya kecil, tapi kuat juga Mas Galih bawa carrier dua ke atas. Gilakk. Tapi begitu 3 menit kemudian saya liat ke belakang Mas Galihnya gak ada.

"Mas Galih... Dimanakah engkau?" teriak saya.

"Woi" teriak Mas Galih. "Jalan aja terus, kaki saya kram"

Waduh, kok jadi dia yang kakinya kram. Apa gara-gara carrier saya yang bikin kram. Kemudian saya juga ikutan berhenti nungguin Mas Galih. Ada perasaan gak enak dalam diri saya, makanya nanti saya putuskan untuk kembali bawa cerrier. Lalu saya liat disekitar, langit mulai mengeluarkan secercah cahaya, menandakan matahari sebentar lagi akan keluar.

Saya sudah tidak bernafsu lagi buat mengejar sunrise, dengan keadaan kaki yang kayak gini saya cukup puas melihat pemandangan yang ada. Lagi pula dimana pun tempatnya, asal sudah lewatin pos 3, pemandangannya sudah keren banget, karena ada di padang savana.






"Riskiiiiii" tiba-tiba ada yang teriak memanggil, dan suaranya mirip Turis.

"Woi!" Balas saya.  

Mas Galih juga sudah menghampiri saya, dan seperti yang tadi janjikan, maka cerrier saya bawa kembali lagi.

"OSA!!! Udah nemu tanah datar belum?" Gantian Mas Galih yang teriak.

"Udahhhh" yang jawab malah anak-anak cewek bebarengan.

"Kamu lagi dimana?" Teriak Mala.

"Lagi di Mall" pake tanya segala, lagi digunung lah.

Saya dan Mas Galih langsung jalan lagi dan gak sampai 5 menit kita semua sudah berkumpul.

Lalu kita para cowok-cowok sibuk bangun tenda. Dan para cewek sibuk foto-foto dengan background sunrise yang tertutup awan. Kasian.



Kita memang kurang beruntung untuk dapat pemandangan sunrise yang keren. Tapi gagahnya Gunung Sumbing cukup membayar perjuangan kita mendaki di malam hari.  

Bersambung dulu ya.......
Pasutri (Dwi-Turis) baru nikah Desember kemarin.
Beti si Petualang Sejati
Mala
Abaikan lemaknya...